Jakarta, Adijaya.web.id – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pilkada dan pembatalan revisinya telah memicu perdebatan luas di kalangan politik dan masyarakat hanya beberapa hari sebelum artikel ini di tulis dan tidak jauh dari sebulan pelaksanaan PILKADA DKJ 2024. Ketegangan ini bahkan memicu aksi demonstrasi, meskipun masih menjadi pertanyaan apakah para demonstran sepenuhnya memahami maksud dan tujuan dari protes yang mereka lakukan.
Di tengah ketidakpastian politik ini, kaum Betawi—penduduk asli Jakarta—dihadapkan pada tantangan besar dalam mempertahankan kedaulatan politik dan budaya mereka. Di sisi lain, tokoh-tokoh seperti Ridwan Kamil dan Anies Baswedan semakin menonjol dalam dinamika politik nasional dan regional, terutama dengan dicalonkannya beliau, Ridwan Kamil sebagai Gubernur DK Jakarta pada Pilkada 2024 mendatang, yang menimbulkan pertanyaan: apakah Betawi masih punya peluang untuk menjadi “juragan” dan “jawara” di tanah kelahirannya?
Keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-Undang Pilkada, membawa yang dampak besar bagi dinamika politik lokal. Tetap Sistem ini membuka ruang bagi campur tangan politik dari tingkat pusat, yang seharusnya mengutamakan gagasan-gagasan untuk memperkuat “eksistensi” kepemimpinan dan kedaulatan Betawi dalam kerangka UU DK Jakarta yang baru. Namun, sebagian besar anggota DPR justru mengarahkan kebijakan sebaliknya, yang alih-alih menunjuk langsung pemimpin dari kalangan Betawi, malah memicu biaya politik yang sia-sia. Langkah ini berpotensi menggusur peluang Betawi untuk memimpin di tanah kelahirannya sendiri, mengancam kedaulatan politik mereka di Jakarta. Dalam konteks ini, kedaulatan politik Betawi benar-benar diuji, dan tanpa dukungan yang kuat dari basis politik lokal, Betawi terancam kehilangan kendali atas masa depan mereka di tanah leluhur.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan calon kepala daerah dalam pemilihan umum dapat memiliki dampak signifikan. Salah satu dampak utamanya adalah perubahan ambang batas untuk nominasi calon pada pemilihan kepala daerah, memungkinkan partai politik atau koalisi untuk mencalonkan kandidat untuk posisi kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di kutip dari artikel ; berita BBC – DPR batal sahkan revisi UU Pilkada, Pilkada 2024. Ikuti putusan MK Keputusan ini berpotensi membuka peluang untuk meningkatkan inklusivitas dan persaingan dalam pemilihan kepala daerah dengan memberikan kesempatan kepada berbagai kandidat dan partai politik untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan. Kutipan dari Kompas.com – Menang Gugatan UU Pilkada di MK, Partai Buruh: Kami Mau Selamatkan Demokrasi
Perubahan ini telah memicu diskusi tentang potensi dampak pada lanskap politik, strategi pemilu, dan dinamika pemilihan kepala daerah ke depan. Hal ini juga dapat memerlukan penyesuaian dalam strategi pelaksanaan PILKADA partai politik yang ada untuk beradaptasi dengan kerangka regulasi yang baru keterangan di kutip dari artikel Tempo.co – MK Kabulkan Gugatan Ambang Batas Cagub di Pilkada 2024.
Berikut adalah penjelasan sederhana mengenai dua poin utama yang menjadi perbedaan antara keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR terkait RUU Pilkada, sebagaimana dilaporkan oleh CNN Indonesia:
1. Ambang Batas Pencalonan (Threshold) Kandidat
Keputusan MK: MK mengubah aturan ambang batas pencalonan yang ada dalam UU Pilkada. Sebelumnya, partai politik harus memiliki minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk mengusung calon kepala daerah. Namun, MK menghapus ambang batas ini dan menetapkan syarat baru berdasarkan jumlah penduduk. Artinya, partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap bisa mengajukan calon jika mereka mendapatkan 6,5 persen hingga 10 persen suara sah, tergantung jumlah pemilih tetap di provinsi tersebut.
Keputusan DPR: DPR mempertahankan ambang batas lama, yaitu 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Namun, mereka mengikuti keputusan MK untuk partai yang tidak memiliki kursi DPRD.
2. Batas Usia Minimum Calon Kepala Daerah
Keputusan MK: MK menetapkan bahwa usia minimum untuk calon gubernur adalah 30 tahun dan untuk calon bupati/wali kota adalah 25 tahun. Yang penting, usia ini dihitung saat calon ditetapkan oleh KPU, bukan saat dilantik.
Keputusan DPR: DPR, sebaliknya, menetapkan bahwa usia minimum tersebut harus dicapai saat calon dilantik, bukan saat ditetapkan oleh KPU. Mereka mengacu pada keputusan Mahkamah Agung (MA) dalam penyusunan aturan ini, bukan keputusan MK.
Dinamika Revisi UU Pilkada
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan bahwa revisi UU Pilkada batal disahkan. Hal ini disampaikan melalui media sosial pada 22 Agustus 2024. Karena pembatalan ini, saat pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus nanti, aturan yang berlaku adalah keputusan MK yang memenangkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora.
Dasco juga menegaskan bahwa revisi UU Pilkada tidak bertujuan untuk menguntungkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam mengusung Kaesang Pangarep sebagai calon wakil gubernur Jawa Tengah pada Pilkada 2024. Ia menyebutkan bahwa perubahan ini mempengaruhi semua partai politik, bukan hanya KIM. Keputusan MK mengubah tatanan yang sudah disusun partai-partai di berbagai daerah, sehingga beberapa koalisi yang sudah terbentuk mungkin terpaksa berubah.
Dasco mengingatkan bahwa perubahan ini bisa mengganggu rencana partai-partai yang sudah mempersiapkan koalisi, karena sekarang mereka mungkin memutuskan untuk mengajukan calon sendiri-sendiri akibat syarat yang baru.
Ridwan Kamil dan Dampaknya terhadap Politik Lokal
Ridwan Kamil, sebagai tokoh yang populer di Jawa Barat, merupakan representasi dari pemimpin daerah yang berhasil mengangkat kedaerahan menjadi kekuatan politik layaknya Dedi Mulyadi di tingkat Kabupaten di masanya. Namun, apakah Betawi bisa melahirkan pemimpin seperti Ridwan Kamil? Dedi Mulyadi? Jika tidak, apa yang menghalangi mereka? Di sinilah pentingnya rumusan strategis untuk membangun kedaulatan politik Betawi: memperkuat jaringan politik lokal, mendorong kaderisasi pemimpin dari kalangan Betawi, dan mengembangkan basis dukungan yang solid di tingkat akar rumput.
Kedaulatan Budaya: Mempertahankan Identitas di Tengah Modernisasi
Jakarta, sebagai ibukota yang dinamis, terus berubah. Betawi seringkali terpinggirkan oleh arus modernisasi dan globalisasi. Namun, kedaulatan budaya adalah benteng terakhir yang harus dipertahankan. Kaum Betawi perlu merumuskan strategi untuk menjaga dan mengembangkan budaya mereka, agar tidak larut dalam arus perubahan yang menggerus identitas mereka.
Rumusan Menuju Kedaulatan: Menjadi Juragan dan Jawara di Tanah Sendiri.
1.Penguatan Pendidikan dan Kesadaran Budaya: Pendidikan yang mengakar pada nilai-nilai Betawi harus menjadi prioritas. Ini tidak hanya mencakup pendidikan formal tetapi juga pendidikan informal yang menanamkan kebanggaan akan identitas Betawi.
Kolaborasi dan Koalisi Politik: Betawi perlu membangun aliansi politik yang strategis, baik di tingkat lokal maupun nasional, untuk memastikan kepentingan mereka diwakili dalam pengambilan keputusan.
Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Betawi harus menjadi penggerak ekonomi di tanah mereka sendiri. Ini bisa dilakukan melalui pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berfokus pada produk dan jasa berbasis budaya Betawi.
Penguatan Infrastruktur Budaya: Membangun pusat-pusat budaya Betawi, festival tahunan, dan ruang-ruang publik yang menampilkan warisan Betawi adalah langkah penting dalam menjaga kedaulatan budaya.
Kesimpulan
Pertanyaan besar yang dihadapi Betawi hari ini adalah apakah mereka masih bisa menjadi juragan dan jawara di tanah mereka sendiri? Jawabannya tergantung pada seberapa kuat mereka bisa mengimplementasikan rumusan strategi politik, budaya, dan ekonomi yang telah dibahas. Tanpa tindakan yang tegas, Betawi mungkin akan semakin terpinggirkan di tanah kelahirannya. Namun, dengan strategi yang tepat dan tekad yang kuat, Betawi bisa bangkit dan kembali memimpin di Jakarta, tidak hanya sebagai simbol budaya, tetapi juga sebagai kekuatan politik dan ekonomi yang signifikan.